TINJAUAN LITERATUR

Kajian mengenai efisiensi lebih banyak ditemui dalam khazanah ilmu ekonomi dan manajemen. Titik tolak dari efisiensi berawal dari teori produksi yang menekankan penggunaaan sumber daya input secara optimal. Produksi bisa dikaji secara agregat dalam kajian makroekonomi, yakni dengan mengaitkannya dengan produksi nasional yang akan berdampak pada kinerja pertumbuhan domestik, demikian juga halnya dalam bentuk kajian yang lebih mikro ataupun individu, yakni menghubungkannya dengan sebuah entitas bisnis (perusahaaan) dan unit organisasi ataupun rumah tangga.

Konsep pengukuran efisiensi sebenarnya yang dipakai secara luas sekarang ini pertama kali diperkenalkan oleh Farel (1957) yang merupakan perluasan dari teori yang dicetuskan oleh Debreu (1951) dan Koopmans (1951). Farel (1957) membuat skala pengukuran efisiensi perusahaan dengan memperhitungkan beragam input. Dia menyatakan bahwa efisiensi bisa dipecah kedalam 2 (dua) buah bentuk yakni; efisiensi teknis, yaitu efisiensi yang mengukur kemampuan suatu perusahaan untuk memperoleh output yang maksimum dari input-input tertentu. Kalau informasi yang tersedia hanya jumlah input dan output dan tidak ada informasi mengenai harga input dan output, tipe efisiensi yang bisa dipakai biasanya adalah efisiensi teknis.

Yang kedua adalah efisiensi alokatif, yang mengukur kemampuan suatu perusahaan untuk untuk menggunakan input-input dalam proporsi yang optimal atas dasar harga-harga input tersebut. Gabungan dari 2 (dua) jenis efisiensi ini digabungkan kedalam bentuk efisiensi ekonomis yang merupakan kombinasi antara efisiensi alokatif dan efisiensi teknis. Konsep Farell ini pada akhirnya membawa perekembangan metode pengukuran efisiensi suatu perusahaan dan selanjutnya beralih pada beragam institusi atapun organisasi pemerintah.

Di lain pihak efisiensi menurut Hoyo et.al., (2004) dinyatakan bahwa ia merupakan hubungan antara suatu organisasi (produsen, unit produksi atau unit pembuat keputusan) hasilkan dan kelayakan produksi suatu organisasi hasilkan dibandingkan dengan asumsi penggunaan penuh sumber-sumber daya yang tersedia. Sementara itu, dalam kerangka konseptual Kumbakhar dan Lovell (2000, p.15) menyebutkan bahwa “efisiensi merepresentasikan derajat kesuksesan yang dicapai oleh produsen dalam mengalokasikan input-input yang tersedia dan outputyang dihasilkan untuk meraih tujuan produsen tersebut,... yakni... untuk memperoleh derajat yang tinggi akan efisiensi biaya, pendapatan dan keuntungan.” Selanjutnya mereka menyatakan bahwa memaksimumkan keuntungan memerlukan efisiensi teknis dan menghasilkan output yang maksimum atas dasar input yang dipakai dan juga efisiensi alokatif dengan menggunakan campuran beragam input atau menghasilkan output atas dasar harga relatif. Dengan demikian efisiensi dapat dipandang sebagai produktifitas dan diukur dengan rasio antara inputyang digunakan dengan output yang dihasilkan. Namun perlu dicatat bahwa efisiensi tidak hanya dipandang sebagai produktifitas saja tetapi dalam ekonomi ia dinilai juga sebagai sebuah uang (value-for-money) (SNZ,2010).

Penelitian empiris tentang efisiensi dari beberapa unit apakah itu suatu perusahaan (profit maximazation) ataupun organisasi non profit (biasanya service maximizationatau output maximization), didominasi oleh 2 (dua) pendekatan, yakni pendekatan parametrik dan nonparametrik, yang masing-masingnya mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pendekatan parametrik lebih fokus pada fungsi produksi dan fungsi biaya dari suatu unit (institusi), dimana nilai efisiensi institusi tersebut diestimasi melalui model regresi yang dapat dipandang sebagai fungsi yang optimal dari sebuah unit (institusi). Pendekatan ini dikembangkan pada awalnya oleh Aigner et.al. (1977), dan Meesen dan juga Van den Bioeck (1977). Pendekatan ini menghitung efisiensi suatu unit dengan membandingkan produksi dan level biayanya hingga mencapai level yang optimal. Pendekatan parametrik ini didasarkan pada model regresi dengan menggunakan confidence intervaldan defiasi yang tentu saja secara statistik harus diakui. Karena model ini menggunakan hubungan input dengan output dalam satu fungsi, maka beberapa penyelesaiannnya menggunakan analisa regresi yang lebih komplek seperti maximum likelihood ataupun data panel analysis (fixed effect dan random effect method). Pengukuran effisiensi dengan cara ini lebih dikenal dengan metode “Stochastic Frontier Analysis” (SFA).

Beberapa penelitian menggunakan pendekatan parametrik dengan menggunakan metode SFA adalah dilakukan oleh H. Prabowo danE. Cabanda (2011), dengan menggunakan data 121 perusahaan yang dilist dari bursa saham Indonesia mulai tahun 2000 sampai tahun 2005 mereka menemukan bahwa rata-rata efisiensi teknis perusahaan yang diuji adalah 0,7149 atau dibawah batasan efisiensi (efficiency frontier).

Selanjutnya M. Farsi dan M. Filipini (2003) mengukur efisiensi biaya dengan menggunakan sampel distribusi listrik di Swiss, dengan menggunakan teknik/metode SFA berdasarkan Estimasi Maximum Likelihood Random dan Fixed Effect Estimation, data utility distribusi tersebut pada periode 1988-1996, spesifikasi berbeda dibandingkan dengan efisiensi batasan biaya dan nilai inefisiensi. Hasil menyarankan bahwa metode benchmarking bisa digunakan sebagai mekanisme kontrol untuk mempertipis gap informasi antara regulator dan perusahaan.

Sementara itu pendekatan non parametrik cenderung untuk membungkus data yang dikumpulkan dari sampel-sampel untuk menaksir produksi yang optimal atau level biaya keseluruhan sampel dan masing-masing sampel dengan membandingkan level sekarang dengan level yang optimal. Pendekatan ini lebih dikenal dengan Data Envelopment Analysis (DEA), yang didasarkan pada model Linear Programming. DEA menggunakan Linear Programming untuk membangun batasan efisiensi dengan observasi sampel yang digunakan. DEA juga memungkinkan untuk menilai “return to scale” masing-masing unit beroperasi dan untuk menilai scale inefisiensi unit (perusahaan) tersebut.

Konsep dan penggunaan DEA telah banyak dilakukan oleh peneliti yang berkaitan dengan efisiensi suatu perusahaan ataupun organisasi pemerintah. Analisa DEA baru-baru ini juga mengalami kemajuan dengan penggunaannya dalam sektor publik dalam analisa cross-counting bagi analisa efisiensi publik secara keseluruhan (Afonso et, al,2005) dan untuk menilai efisiensi pengeluaran pemerintah lokal.

Dalam sektor privat (swasta), metode ini meraih popularitas dengan berbagai kajian efisiensi pada institusi-institusi keuangan, misalnya perbankan. Pada sektor kesehatan DEA digunakan secara luas untuk menghitung perubahan dalam total faktor produksi, dimana data tentang harga sulit untuk ditemukandan produksi multi-output adalah relevan karena hal itu tidak memerlukan maksimum pendapatan dan minimum biaya (Lovell,2000).

A. Afonso dan S. Fernandes (2008) mencoba menghitung efisiensi Rumah Sakit pemerintah di Portugal dengan menggunakan non-parametrik analysis (DEA), dalam sebuah data panel untuk periode 2000-2005, hasil pengujiannya menunjukkan bahwa secara rata-rata Rumah Sakit pemerintah yang tergabung dalam“National Health Sytem” mengalami pertumbuhan produktifitas yang positif walaupun agak lambat. Selain itu ada fluktuasi yang signifikan dimana rumah sakittersebut dengan catatan kalau kita pertimbangkan skor efisiensi masing-masing individu dari tahun ke tahun.

Sementara itu di Irlandia Utara, D.G.McKellop (1989) menguji efisiensi Rumah Sakit (besar dan kecil) selama tahun 1986-1992, mereka berpendapat bahwa non-parametrik analysis merupakan “best–practices” dalam mengukur efisiensi (teknis & scala) di rumah rakit Irlandia Utara. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa rumah sakit yang lebih kecil tidak hanya memiliki efisiensi yang lebih rendah dibandingkan rumah sakit yang besar, tetapi juga level penurunan selama beberapa waktu, rumah sakit yang kecil mengalami gangguan, baik dalam hal efisiensi teknis maupun skala. Rumah sakit yang lebih besar jauh lebih efisien dari pada rumah sakit yang kecil.

Dalam hal sektor pendidikan, penelitian dalam hal efisiensi berkisar pada pengukuran efisiensi di Perguruan Tinggi dengan menggunakan metode DEA, sebagai contoh A. Garcia-Acacil dan D. Palomares-Montero dengan meneliti Universitas milik pemerintah selama tahun 2002-2004 untuk menentukan lokasi geografi dari universitas yang paling efisien.Tujuan penelitiannya adalah apakah universitas yang terletak di daerah pemukiman penduduk kaya lebih efisien dari universitas di daerah yang penduduknya miskin. Hasil dari penelitian mereka ini adalah di daerah yang penduduknya kaya institusi pendidikannya jauh lebih efisien dari pada institusi pendidikan di daerah yang penduduknya miskin, namun tidak semua universitas di daerah kaya memiliki efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan universitas di daerah miskin.

Sementara itu Abbot dan Doucouliagos (2003) mencoba mengukur efisiensi Universitas di Australia dengan metode pengukuran DEA untuk periode 1995. Hasil pengujian mereka menunjukkan bahwa efisiensi skala dan teknis pada universitas di Australia secara umum relatif baik walaupun ada ruang untuk perbaikan bagi beberapa universitas.