Reformasi pengelolaan keuangan negara telah berjalan satu dekade sejak terbitnya paket undang-undang keuangan negara (UU 17/2013, UU 1/2004 dan UU 15/2004). Salah satu poin penting dalam paket peraturan dimaksud ialah perubahan paradigma dalam perencanaan dan penganggaran pemerintah dari metode traditional line-item budgeting kepada result-based budgeting. Ada perbedaan mendasar dalam kedua pendekatan tersebut dimana pendekatan lama lebih memperhatikan penyediaan sumberdaya masukan yang akan diperlukan oleh setiap organisasi pemerintah. Sebaliknya, pendekatan baru berorientasi pada hasil yang akan dicapai dalam penetapan alokasi sumberdaya (resources).
Secara konsepsi, penganggaran berbasis kinerja lebih logis daripada penganggaran berbasis input karena adanya hubungan yang rational antara penyediaan sumberdaya dengan hasil yang diharapkan. Namun secara faktual, implementasi pendekatan baru dalam perencanaan anggaran belum teruji apakah telah berhasil mencapai tujuannya mengingat masih terbatasnya penelitian dan evaluasi terhadap program-program pemerintah.

Menurut PP No 90 Tahun 2010, penganggaran berbasis kinerja (PBK) bertujuan untuk meningkatkan kualitas anggaran publik. Atas dasar pemikiran dimaksud, penulis berpendapat bahwa kualitas anggaran publik tercapai apabila: (1) pengeluaran negara dilakukan secara efisien dan efektif (operational efficiency); (2) akuntabilitas keuangan publik meningkat, dan (3) tercapai transparansi dalam pengelolaan anggaran publik. Untuk mencapai kualitas anggaran, perlu diperoleh informasi dan fakta kinerja sebagai alat yang digunakan dalam penetapan pengalokasian anggaran (OECD 2007).

Artikel ini bermaksud untuk menjelaskan bagaimana proses penganggaran berbasis kinerja dilakukan melalui suatu sistem manajemen penganggaran publik dalam rangka mengumpulkan informasi-informasi kinerja. Tujuannya ialah agar tercapai kualitas anggaran publik berdasarkan informasi kinerja yang kredibel yang digunakan dalam proses kebijakan pembagian anggaran publik.

Maksud dan Bentuk Penganggaran Berbasis Kinerja

PBK merupakan suatu metode penganggaran publik yang telah dipakai oleh negara-negara yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) sejak tahun 1990’an. Menurut laporan OECD, PBK berdampak positif terhadap peningkatan efisiensi anggaran publik (OECD 2007). Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia telah mulai mengadopsi metode dimaksud dalam rangka efisiensi anggaran sejak tahun 2005.
Kongkretnya tercermin pada Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010 yang secara jelas menginstruksikan agar Kementerian / Lembaga menggunakan pendekatan penganggaran berbasis kinerja (PBK) dalam menyusun rencana anggaran belanja. PBK, menurut PMK 94 Tahun 2013, adalah suatu pendekatan dalam sistem perencanaan dan penganggaran belanja negara yang menunjukkan secara jelas antara alokasi pendanaan dan kinerja yang diharapkan atas alokasi tersebut, serta memperhatikan efisiensi dalam pencapaian kinerja.


Landasan teori yang mendasari penerapan PBK yaitu: (1) output and outcome oriented; (2)
money follow function; dan (3) let the manager manages.

Menurut OECD, performance-based budgeting is a form of budgeting that relates fund allocated to measurable results. Artinya, PBK adalah suatu metode pengganggaran publik
yang menghubungkan antara alokasi anggaran dengan hasil-hasil yang akan dicapai. Ada tiga jenis performance-based budgeting. Pertama, presentational budgeting yaitu suatu bentuk penganggaran publik yang mensyaratkan informasi-informasi kinerja dalam proses penganggaran. Akan tetapi informasi-informasi kinerja dimaksud belum dipakai sebagai dasar dalam menentukan besaran alokasi anggaran. Kedua, performance informed budgeting adalah format penganggaran publik yang sudah menggunakan informasi kinerja dalam proses pengambilan keputusan untuk pengalokasian anggaran namun tidak secara otomatis mempengaruhi jumlah alokasi anggaran. Yang ketiga, direct performance budgeting yaitu format pengangggaran publik yang telah secara langsung menghubungkan informasi kinerja terhadap kebijakan pengalokasian anggaran publik (Kelly and Wanna 2000; OECD 2007).

Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja
Agar pelaksanaan PBK dapat meningkatkan kualitas anggaran, perlu tersedia informasi dan fakta dalam pengambilan keputusan. Berikut akan dijabarkan tahapan proses pelaksanaan PBK sampai pada pengumpulan informasi kinerja yang merujuk pada laporan penelitian yang dilakukan oleh Christiane Lorenz (Lorenz 2012).
Pertama, menyusun rencana strategis organisasi jangka menengah (3-5 tahun). Rencana strategis merupakan penjabaran visi dan misi organisasi ke dalam beberapa sasaran dan tujuan organisasi. Penyusunan rencana strategis dilakukan untuk menjawab: (1) untuk apa organisasi/program dibentuk?; (2) apa yang diharapkan akan dicapai oleh
organisasi/program?; (3) bagaimana mengetahui bahwa organisasi/program telah berhasil dalam mencapai tujuannya?; dan yang tidak kalah penting ialah (4) kepada siapa organisasi bertanggung jawab atau para pemangku kepentingan yang akan menilai kinerja organisasi/program.
Kedua, membuat rencana operasional tahunan. Para manajer publik menyusun rencana kerja yang merupakan turunan dari rencana strategis organisasi. Rencana operasional meliputi perumusan: (1) input atau sumberdaya yang akan dibutuhkan; (2) aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan; (3) volume output yang akan dihasilkan, serta (4) hasil (outcomes) sebagai indikator keberhasilan organisasi/program. Akurasi perencanaan kinerja sangat menentukan tingkat keberhasilan pelaksanaan anggaran karena perencanaan yang baik kemungkinan besar akan menghasilkan kinerja yang sesuai dengan harapan.
Ketiga, eksekusi anggaran kinerja tahunan. Tahapan ini merupakan operasionalisasi perencanaan anggaran tahunan yang dilakukan dalam rangka mencapai hasil yang diharapkan. Pada tahap ini, para manajer publik diharapkan melakukan administrasi kinerja dengan baik yang akan diperlukan dalam pelaporan kinerja. Selain itu, setiap tantangan dan hambatan perlu didokumentasikan dengan tertib guna pembelajaran organisasi ke depan.
Disamping itu, dokumen-dokumen kinerja dimaksud juga merupakan informasi yang penting dalam pengukuran kinerja organisasi.
Keempat, melakukan pengukuran kinerja. Kinerja adalah prestasi kerja berupa keluaran dari suatu kegiatan atau hasil dari suatu program dengan kuantitas dan kualitas terukur (PMK 249/2011). Pengukuran kinerja dilakukan untuk menilai apakah sumberdaya input yang disediakan telah terpakai secara efektif dan efisien dalam mencapai hasil yang diharapkan.
Dengan kata lain, pengukuran kinerja dilakukan untuk menilai apakah semua elemen organisasi (input, proses, output) telah berfungsi secara optimal untuk menghasilkan outcomes. Selain itu, pengukuran kinerja dilakukan untuk menilai apakah target kinerja indikator kinerja utama telah tercapai sesuai dengan rencana kerja tahunan.
Kelima, monitoring dan evaluasi pelaksanaan anggaran. Kegiatan ini dilakukan untuk memonitor perkembangan pelaksanaan anggaran sebagai upaya tindakan preventif dalam mencegah kegagalan dan menilai kesesuaian antara perencanaan dengan pelaksanaan anggaran. Sedangkan evaluasi program dilakukan untuk menilai sejauh mana kegiatan atau program pemerintah telah berhasil mencapai tujuannya dan apakah hasil dimaksud telah memberikan dampak yang signifikan dalam memenuhi tujuan organisasi. Pada umumnya kegiatan ini dilakukan sendiri oleh induk organisasi namun perlu melibatkan tenaga ahli dibidangnya untuk menghasilkan hasil evaluasi yang kredibel.

Terakhir, comprehensive spending review atau public expenditure review. Comprehensive spending review (CSR) adalah suatu kegiatan untuk menilai seluruh program pemerintah apakah telah berhasil mencapai nilai publik atau prioritas kebijakan regim pemerintah. Di beberapa negara maju seperti Inggris, CSR biasanya berakibat pada pemotongan anggaran jika terjadi duplikasi, inefisiensi dan einmaliq dalam pelaksanaan anggaran publik. Hendaknya praktek ini dilakukan di Indonesia untuk menilai apakah pengguna anggaran telah menciptakan nilai publik (public value creation) (Moore 1995) sesuai dengan janji pemerintahan yang terpilih. Namun demikian, untuk melakukan CSR perlu dukungan politik dari pemimpin pemerintah terpilih serta lembaga legislatif (Grizzle and Pettijohn 2003).

Proses implementasi PBK terdiri atas enam tahapan penting dalam menghasilkan informasi kinerja yang lengkap, akurat dan kredibel. Kelemahan penetapan tujuan organisasi dan indikator-indikator kinerjanya akan berakibat pada kesalahan dalam perencanaan dan pelaksaaan anggaran. Demikian halnya, perencanaan yang tidak akurat akan menimbulkan pelaksanaan anggaran yang tidak tepat sasaran. Untuk itu, perlu dilakukan monitoring dan evaluasi dan spending review agar otoritas keuangan negara serta badan legislatif dapat menggunakan informasi kinerja yang kredibel dan akurat dalam kebijakan alokasi anggaran.
Singkatnya, PBK dapat mencapai tujuannya apabila para pembuat kebijakan menggunakan informasi kinerja yang kredibel dalam menentukan besaran alokasi anggaran pemerintah.