2018 pun berlalu, APBN menjadi menu pembicaraan pada berbagai kesempatan, lebih khusus bagi para pemerhati keuangan negara. Target, harapan, kerja keras, tantangan, hambatan, kegagalan, dan keberhasilan menjadi begitu menggiurkan untuk disantap. Sesekali, di sela-sela diskusi kita akan mendengar kata-kata BLU terlontar, termasuk harapan yang disandarkan dan capaian yang telah digapai. Bagi sebagian pemerhati keuangan negara, barangkali BLUbukanlah hidangan yang renyah pengundang selera (appetite) yang membuat saliva meleleh. BLU bukanlah drama yang mendebarkan pada akhir tahun, layaknya ketika membicarakan capaian penerimaan atau realisasi belanja pemerintah, di mana sebenarnya BLU menjadi bagian di dalamnya.

Kita melihat APBN sebagai keputusan politik dalam penyelenggaraan negara, atau dengan kata lain merupakan ikhtiar bersama para penyelenggara negara.Dalam konteks penyelenggaraan negara, APBN menjadi bagian yang begitu penting untuk dibahas dalam manajemen keuangan negara. Sedemikian pentingnya sehingga perlu pengaturan lebih lanjut dalam pelaksanaannya, yang saya istilahkan sebagai manajemen perbendaharan.Dalam manajemen perbendaharaan inilah kemudian kita mengenal istilah BLU.

Dalam manajemen perbendaharaan, BLU diulas pada bagian akhir dari rangkaian pengaturan (lihat UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara), seolah mejadi simpul yang merangkum semua pengaturan perbendaharaan itu sendiri. Setidaknya ada empat kriteria BLU dalam ulasan tersebut: 1) instansi pemerintah, 2) pelayanan, 3) dijual, dan 4) efisiensi dan produktivitas. Kriteria pertama mendorong pemahaman bahwa habitat BLU berada pada dunia birokrasi. Kriteria kedua menempatkan BLU pada posisi pengejawantahan fungsi pemerintah. Kriteria ketiga dan keempat membawa spirit bisnis privat pada BLU.

Pengaturan yang bernuansa dikotomi atau aliansi (tergantung sudut pandang yang digunakan) antara dunia publik dan privat menjadi kenyataan yang harus dijiwai dalam mengawal implementasi BLU. Sudah barang tentu, dua sudut pandang tadi menjadi bahan (ingredients) yang memikat untuk diolah dan dimasak sehingga bisa memperkaya diskusi.

Apa yang menjadi tujuan BLU?

Dalam pengaturan perbendaharaan secara tegas disebutkan bahwa tujuan BLU adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Pada bahasan ini, sebenarnya tidak ada yang istimewa dengan BLU karena tujuan tersebut dapat dimaknai sebagai penegasan dari tujuan bernegara. Sama halnya dengan empat kriteria terdahulu yang semuanya cenderung normatif, kecuali kriteria “dijual” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesai (KBBI) diartikan sebagai “diberikan sesuatu kepada orang lain untuk memperoleh uang”. Ini hal menarik untuk dibahas lebih lanjut, tapisaya tidak akan melakukannya dalam kesempatan ini. Untuk pembahasan BLU yang lebih teknis, silakan lihat materi presentasi kami di sini.

Ikhtiar selanjutnya ada pada level yang lebih operasional, yaitu cara untuk menafsirkan kriteria dan tujuan BLU. Melalui ikhtiar ini, saya mengajak untuk menyelami cara pandang berbagai pihak yang saya rangkum dari perenungan diskursus yang mengemuka sepanjang perjalanan karier saya selaku regulator BLU, terutama yang berasal dari berbagai diskusi yang pernah saya hadiri, baik sebagai peserta atau pembicara. Di sini, saya sebatas mengungkapkan sudut pandang yang mendominasi diskusi yang dalam dalam tataran implemetasi akan sangat berpengaruh pada governance BLU secara makro maupun mikro, tanpa memihak pada salah satu sudut pandang tertentu.

Ada dua kelompok pandangan dengan fokus yang berbeda dalam memahami BLU.

Kelompok pertama berfokus pada definisi dan norma-norma dalam manajemen keuangan negara, yaitu melihat BLU sebagai bagian dari manajemen keuangan negara. Kelompok ini melihat perlunya implementasi BLU mengikuti arah manajemen pengelolaan keuangan negara secara umum dengan beberapafeature fleksibilitas yang secara khusus diberikan kepada BLU, yaitu BLU sebagai pola pengelolaan keuangan atau sebuah manajemen keuangan yang memiliki ruang tersendiri dalam manajemen keuangan negara.Kelompok ini akan banyak berbicara tentang dimana ranah BLU seharusnya dilekatkan dalam manajemen keuangan negara.

Di sisi yang lain, kelompok kedua berfokus pada tujuan pembentukan BLU untuk meningkatkan layanan umum. Kelompok ini memposisikan tujuan BLU lebih penting daripada sekedar pola tata kelola keuangan. Diskusi BLU pada kelompok ini akan mengarah pada dimensi yang mungkin justru tidak menjadi bagian yang dibahas dalam manajemen keuangan negara. Argumentasi kelompok ini banyak disandarkan pada teori akademis dan best practice di luar BLU sehingga seringkali terjadi upaya untuk membandingkan BLU dengan BUMN atau korporasi, bahkan dengan praktik-praktik serupa di luar negeri. Kelompok ini memahami business-like operasional BLU secara komprehensif, bukan hanya dalam bidang manajemen keuangan saja sebagaimana yang dipahami pada kelompok pertama.

Saya kembali merenungi kata-kata dalam sebuah diskusi yang begitu membekas dalam benak saya,“Membicarakan dan mengatur BLU pada akhirnya akan membahas tentang cara-cara kita bernegara.”

Di posisi manapun kita memahami BLU, semua cara itu merupakan ikhtiar, dan pada akhirnya, wujud dari ikhtiar itu adalah regulasi yang kita jalankan.

Selamat tahun baru 2019!

Oleh: M Syaibani – Kasubdit Peraturan dan Standardisasi Teknis BLU