Analisis terhadap Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum: Isu dan Tantangannya

Oleh Mangappu Pasaribu, S.E., M.P.A.(Flinders University)

Pegawai pada Ditjen Perbendaharaan, Kementerian Keuangan

Pendahuluan

Dalam satu dekade terakhir, pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU) telah menjadi diskursus yang menarik di kalangan akademisi maupun para pejabat pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Banyak yang menganggap bahwa konstruksi pola pengelolaan keuangan BLU belum solid dalam rangka peningkatan pelayanan publik. Sebaliknya tidak sedikit yang berpendapat bahwa format BLU merupakan strategi pemerintah pusat dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik. Tulisan ini akan menjelaskan bagaimana teori agensifikasi diterapkan melalui mekanisme pola pengelolaan keuangan BLU (PPK-BLU) di Indonesia. Selanjutnya akan disajikan data empiris untuk mengidentifikasi isu strategis dan tantangan ke depan yang akan dihadapi oleh para pembuat kebijakan. Selain dapat menambah wawasan pembaca, tulisan ini bertujuan untuk menarik minat akademisi maupun praktisi untuk melakukan penelitian akademis dalam bidang topik terkait.

Karakteristik Badan Layanan Umum

Badan Layanan Umum merupakan organisasi sektor publik yang dioperasikan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang fungsi utamannya ialah menjual barang dan/atau jasa dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sebelum ditetapkan sebagai unit BLU, instansi tersebut dikenal dengan istilah satuan kerja (satker) yang menyelenggarakan tugas dan peran pemerintah dalam penyediaan layanan umum. Menurut ketentuannya, instansi yang sudah ditetapkan menjadi BLU dikelola bukan untuk mencari keuntungan namun atas dasar prinsip efisiensi dan produktivitas. Menurut teori agensifikasi, BLU merupakan agen pemerintah yang memperoleh kewenangan yang lebih luas dalam hal antara lain manajemen organisasi, pengelolaan keuangan maupun dalam hal pelaporan dan akuntabilitas kinerja. Menurut jenis layanan, BLU dapat dikelompokkan ke dalam 4 kategori yaitu:

1.

BLU Pendidikan antara lain Universitas di bawah Kementerian Pendidikan, Politeknik dibawah Kementerian Kesehatan, Sekolah Tinggi di bawah Kementerian Perhubungan dan lain-lain.

2.

BLU Kesehatan seperti rumah sakit pusat yang secara struktural berada di bawah Kementerian Kesehatan.

3.

BLU Pengelola Dana yaitu BLU yang dibentuk untuk menyalurkan kredit dengan bunga terjangkau kepada Koperasi dan lembaga keuangan non perbankan dalam rangka peningkatan kegiatan ekonomi masyarakat.

4.

BLU Pengelola Wilayah/Kawasan yaitu unit kerja pemerintah yang mengelola kawasan ekonomi terpadu antara lain Batam dan Komplek Gelora Bung Karno.

Pola Pengelolaan Keuangan BLU (PPK-BLU)

Ada perbedaaan mendasar antara pola pengelolaan keuangan berbasis satker dengan pola pengelolaan keuangan BLU (PPK-BLU). Satuan kerja ialah unit organisasi lini yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan Kementerian Negara / Lembaga Pemerintah Non Kementerian.Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013, kepala satuan kerja memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam penggunaan anggaran (spending unit). Namun sejak terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU, pemerintah menetapkan regulasi pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (PPK BLU) sebagai metode pengelolaan keuangan bagi satuan kerja yang telah ditetapkan sebagai Badan Layanan Umum (BLU). Untuk menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum, satuan kerja instansi pemerintah wajib memenuhi tiga persyaratan utama yakni:

1.

Persyaratan substantif yaitu penilaian dari segi bisnis utama (core business) organisasi. Persyaratan ini ditujukan untuk menilai apakah suatu instansi pemerintah menyelenggarakan pelayanan publik dengan menjual barang /menetapkan tarif dalam menyediakan quasi-barang publik sebagai pendapatan operasional.

2.

Persyaratan teknis yaitu penilaian darisegi kesehatan dan kemampuan keuangan sehingga layak dikembangkan melalui mekanisme PPK-BLU.

3.

Persyaratan administratif yaitu penilaian terhadap dokumen kelengkapan seperti antara lain laporan keuangan, rencana strategis bisnis, laporan audit dan standar pelayanan minimum.

Tabelperbandingan karakteristik antara Satuan Kerja dengan Badan Layanan Umum


Satker

BLU

Definisi

Satuan kerja adalah unit yang merupakan bagian dari suatu Kementerian/Lembaga dan Non Kementerian Lembaga yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dari suatu program pemerintah.

Badan Layanan Umum adalah instansi pemerintah yang menyediakan barang/atau jasa untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berdasarkan prinsip efisiensi dan produktivitas.

Status Kepegawaian

PNS (pegawai negeri sipil)

Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK)

Manajemen

Birokratis, hirarkis, rule and process oriented

-Customer focus

-Output oriented

-Manajemen ala bisnis

Budaya kerja

Administratif

Kinerja berdasarkan produktivitas

Kelembagaan

Bagian dari K/L, Struktural

Eselonisasi jabatan

Agen K/L, Board management (Dewan Direksi)

Advisory board (Dewas)

Sumber Dana

APBN

APBN dan Pendapatan Jasa Layanan

Pengelolaan Keuangan

Tidak boleh melampaui pagu anggaran

Tidak memiliki saldo awal

Dapat melampaui pagu sesuai dengan ambang batas yang ditetapkan

Memiliki saldo awal

Anggaran dapat dipakai pada tahun berikutnya

Budgeting

Menyusun RKA-KL, DIPA

Menyusun RBA, RKA-KL dan DIPA

Unit-unit yang sudah mendapat predikat sebagai BLU diberi beberapa keistimewaan yang tidak dimiliki oleh satuan kerja pada umumnya diantaranya sebagai berikut:

Pertama, BLU menganut pola anggaran fleksibilitas (flexible budget). Pola anggaran ini mengizinkan pemimpin BLU melakukan belanja lebih besar daripada yang ditetapkan dalam dokumen pelaksaanan anggaran. Besarnya ambang batas fleksibilitas anggaran tentunya ditetapkan terlebih dahulu dalam dokumen Rencana Bisnis Anggaran tahunan sebagai dokumen perencanaan dan penganggaran BLU. Dalam mekanisme PPK-BLU, pendapatan yang berasal dari jasa layanan dapat dikelola secara langsung untuk membiayai kegiatan operasional. Sebaliknya menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2007, Satuan kerja non-BLU, yang memiliki Penerimaan Negara Bukan Pajak, wajib menyetor secepatnya ke Kas Rekening Negara. Istimewanya, BLU hanya perlu melaporkan jumlah penerimaan sekaligus mempertanggungjawabkan belanja yang sudah dilakukan melalui Surat Perintah Pengesahan Pertanggungjawaban Belanja (SP3B) minimal sekali dalam tiga bulan (Per-30/PB/2011). Singkatnya, selain tidak diwajibkan untuk menyetor PNBP secara langsung ke rekening Kas Negara, BLU diberi kewenangan untuk melampaui pagu anggaran dalam rangka menambah volume output kegiatan dalam satu periode anggaran. Namun perlu digarisbawahi bahwa pengeluaran BLU yang dapat dilampaui hanya yang sumber dananya berasal dari PNBP sesuai dengan ambang batas yang telah ditetapkan dalam dokumen Rencana Bisnis Anggaran (RBA).

Kedua, BLU dapat memiliki saldo akhir tahun sebagai surplus kas. Surplus BLU terjadi apabila terdapat selisih lebih antara pendapatan operasional dengan pengeluaran rutin dalam satu tahun anggaran. Selain itu, pemimpin BLU dapat memanfaatkan saldo awal sebagai uang muka kerja sehingga dalam proses pelayanan publik tidak mengalami kekuarangan sumberdaya sebelum dokumen pelaksanaan anggaran dapat direalisasikan pada awal tahun. Ketentuan tersebut jelas sangat berbeda dengan aturan dalam pengelolaan keuangan berbasis satker dimana satker wajib menyetorkan saldo akhir tahun anggaran ke rekening kas Negara pada akhir tahun anggaran.

Ketiga, meskipun dikelola bukan untuk mencari keuntungan, BLU memiliki kewenangan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat sama seperti halnya dengan organisasi yang berorientasi pada keuntungan. Hal itu secara implisit menekankan agar BLU dikelola dengan konsep manajerialisme agar mampu meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam pelayanan publik. Sehingga kemampuan managerial menjadi krusial dalam menjalankan roda organisasiuntuk mencapai tujuan organisasi dalam penyediaan pelayanan publik. Selain itu, pemimpin BLU diberi kewenangan dalam hal pengelolaan investasi, pengelolaan kas, pengelolaan utang dan piutang, dan pengelolaan aset/barang. Harapannya, dengan semakin meningkatkan kemampuan keuangan, pemimpin BLU dapat meningkatkan kualitas layanan serta meningkatkan remunerasi sebagai imbalan atas kinerja pegawai. Untuk menjaga akuntabiitas publik dan menghidari moral hazards, BLU dilengkapi dengan dewan pengawas sebagai alat kelengkapan organisasi yang mewakili kepentingan pemerintah.

Isu dan Tantangan PPK-BLU

PPK-BLU adalah mekanisme baru dalam pengelolaan keuangan publik bagi peningkatan pelayanan umum. Konsepsinya, pelayanan publik akan semakin baik karena dikelolaala bisnis yang menekankan efisiensi dan efektivitas dalam pemakaian sumberdaya untuk menghasilkan layanan. Selain itu para pengelola BLU telah diberikan diskresi yang lebih luas untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat sebagaimana yang diterapkan oleh korporasi bisnis.

Namun demikian terdapat tiga isu strategis dalam penerapan PPK-BLU. Pertama,isu yang diakibatkan oleh agensifikasi pelayanan publik. Menurut teori agensifikasi, pemerintah tidak lagi secara langsung berperan sebagai penyedia barang dan jasa kepada masyarakat khususnya quasi-public goods namun membentuk agen sebagai operator penyelenggara pelayanan publik yang dalam hal ini diperankan oleh BLU. Hubungan antara pemerintah dengan operator disebut sebagai purchasing-provider agreement sebuah kontrak kinerja yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai principal dan BLU sebagai penyedia layanan. Dalam hal ini, pemerintah menggunakan agen sebagai kepanjangan tangan pemerintah yang akan melaksanakan fungsi pemerintah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik. Tantangannya ialah bagaimana menerapkan gagasan dimaksud agar tune-in dengan struktur, budaya dan iklim organisasi yang berlaku di unit BLU yang masih kental dengan budaya kerja birokrasi.

Kedua,bagaimana membangun sistem pengelolaan kinerja (performance management) yang komprehensif namun aplikatif. Sebagaimana diketahui bahwa tujuan pembentukan BLU ialah meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Pertanyaannya ialah bagaimana mengetahui bahwa BLU sudah mencapai tujuan yang diharapkan? Sebagai perbandingan, organisasi sektor privat mengukur keberhasilan organisasi dari pertumbuhan profit yang diperoleh setiap tahunnya. Sebaliknya, BLU dijalankan bukan dalam rangka mencari keuntungan namun memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat. Hal Ini merupakan tantangan sulit karena BLU diharapkan tidak hanya efisien dan efektif namun juga memperhatikan akses terhadap layanan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu perlu dilakukan pengelolaan kinerja yang komprehensif agar organisasi tidak hanya fokus kepada pendapatan, namun juga fokus kepada pengguna layanan (customer-focus) serta memperhatikan efisiensi proses bisnis dan kepuasan pegawai.

Ketiga, bagaimana pengaturan fleksibilitas keuangan agar berimplikasi positif terhadap peningkatan kapasitas fiskal. Tabel 2 menunjukkan trend peningkatan total pengeluaran BLU baik yang berasal dari PNBP maupun dari alokasi Rupiah Murni. Total belanja BLU sampai dengan tahun 2011 yaitu sebesar 25,5 triliun rupiah. Dari total belanja tersebut, porsi rupiah murni selalu lebih besar daripada jumlah pendapatan operasional BLU. Sampai dengan tahun 2011, PNBP mencapai 10,9 triliun rupiah atau mengalami kenaikan sebesar 523 % dari 2,1 triliun pada tahun 2007. Sedangkan belanja BLU yang berasal dari Rupiah Murni selama 5 tahun mengalami kenaikan sebesar 12,7 triliun atau naik sebesar 922 % dari 1,5 triliun pada tahun 2007 menjadi 14,3 triliun. Data tersebut menunjukkan secara jelas bahwa meskipun terjadi kenaikan PNBP BLU, alokasi rupiah murni yang disalurkan ke BLU-BLU juga mengalami peningkatan yang cukup besar. Dari sisi akuntabilitas keuangan publik, perlu kiranya kajian mendalam terkait kenaikan pengeluaran BLU apakah sudah menunjukkan efisiensi dalam pelaksanaan anggaran. Apabila terjadi peningkatan PNBP BLU maka belanja agregat yang berasal dari Rupiah Murni secara logika mengalami penurunan. Singkatnya, peningkatan PNBP BLU belum secara langsung berpengaruh terhadap peningkatan kapasitas fiskal pemerintah. Isu ini menjadi tantangan nyata ke depan khususnya bagaimana meningkatkan kemandirian BLU melalui peningkatan pendapatan operasional sehingga mengurangi alokasi rupiah murni.

Tabel 2 Realisasi Belanja BLU dalam miliar rupiah

SUMBER DANA

2007

2008

2009

2010

2011

PNBP BLU

2.087,56

3.976,45

5.964,44

8.992,52

10.923,49

RM

1.555,10

3.939,20

6.565,50

9.842,40

14.347,20

Dari ketiga isu yang dipaparkan sebelumnya, penulis menawarkan alternatif solusi untuk mengatasinya yaitu .

1.

Redefinisi konsep agensifikasi agar sesuai format institusi yang diharapkan dalam rangka peningkatan pelayanan publik. Mungkin pemerintah dapat mengadopsi konsep sui generis kerangka aturan tidak bersifat one-size-fits-all namun membentuk tata kelola sesuai dengan karakteristik masing-masing BLU.

2.

Membangun alat pengelolaan dan pengukuran kinerjasebagai alat management yang dapat memberikan informasi kinerja secara komprensif. Salah satu alat management strategis yang dipakai oleh organisasi sektor privat maupun organisasi sektor publik ialah balaced scorecard.

3.

Untuk meningkatkan kemandirian BLU, pemerintah dapat melakukan mekanisme public service obligation (PSO) dalam pengalokasian rupian murni. Dengan demikian, alokasi APBN yang diterima BLU hanya sebagai subsidi atau bantuan operasional untuk menutupi difisit pengeluaran atau belanja BLU.

Simpulan

Teori agensifikasi melalui mekanisme pola pengelolaan keuangan BLU telah memberikan fleksibilitas keuangan yang cukup luas dalam menyelenggarakan pelayanan secara efektif,efisien dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Melalui pengaturan ini, pemimpin BLU diberikan diskresi yang lebih besar untuk mengelola organisasi secara ala bisnis. Meskipun dikelola bukan semata-mata untuk mencari keuntungan, BLU diharapkan melakukan efisiensi dan efektivitas dalam memberikan produk kepada pengguna layanan. Untuk mengawasi kepentingan pemerintah dan menjaga akuntabilitas pengelolaan keuangan publik, dibentuk Dewan Pengawas yang berfungsi sebagai advisory board untuk mengawasi direksi dalam menjalankan roda organisasi.

Namun demikian, agensifikasi pelayanan publik bukan merupakan hubungan keagenan yang ideal karena cenderung bersifat relational. Hal itu terjadi karena institusi BLU selaku agen memiliki status hukum yang tidak terpisah dari kementerian/lembaga induk. Selain itu, pada umumnya output yang dihasilkan BLU bersifat sangat kualitatif dan sulit diukur sehingga penerapan kontrak kinerja kadang hanya bersifat formalitas tanpa aturan yang mengikat kedua belah pihak. Bilamana pimimpin BLU tidak dapat memenuhi target yang ditetapkan, Kementerian/Lembaga sebagai principal belum memiliki mekanisme dalam memberikan ganjaran atas kinerja pemimpin BLU terkait. Oleh karena itu, perlu redefinisi gagasan agensifikasi, membangun sistem pengelolaan kinerja yang komprehensif dan mekanisme baru dalam pengalokasian rupiah murni berupa subsidi atau bantuan operasional.

Referensi

1

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak;

2

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;

3

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;

4

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum;

5

Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

6

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum;

7

Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor 30 Tahun 2011 tentang Mekanisme Pengesahan Pendapatan dan Belanja Satuan Kerja Badan Layanan Umum.